|
||||||
|
|
|
||||
M Abdul Roziq
Selasa, 12 Juni 2012
Prospektif Ahlussunnah Wal Jama’ah
Dalam NU
Oleh
: Ahmad Damanhuri Tuanku Mudo
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan
organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang didirikan pada tanggal 16 Rajab
1344 H (31 Januari 1926 M) di Surabaya oleh beberapa ulama terkemuka yang
kebanyakan adalah pemimpin/pengasuh pesantren. Tujuan didirikannya adalah
berlakunya ajaran Islam Ahlussunnah Wal
Jama’ah (Aswaja) dan menganut salah satu mazhab empat. Ini berarti NU
adalah organisasi keagamaan yang secara
konstitusional membela dan mempertahankan Aswaja, dengan disertai
batasan yang fleksibel.
Sebagai organisasi sosial keagamaan (Jam’iyah Diniyah wal Ijtima’iyah), NU
merupakan bagian integral dari wacana pemikiran suni. Terlebih lagi, jika kita
telusuri lebih jauh, bahwa penggagas berdirinya NU memiliki pertautan sangat
erat dengan para ulama “Haramain”
(Makkah-Madinah) pada masa di bawah kekuasaan Turki Usmani yang ketika itu
berhaluan Aswaja.<o:p>
Selama ini image masyarakat terhadap
NU terlanjur miring dengan jargon sebagai kaum tradisionalis, kolot, irasional
dan jumud (stagnan) dalam pemikiran. Tentu saja image tersebut tidak berdasar.
Jika NU statis, bagaimana mungkin memiliki umat 35 juta yang tersebar di
seluruh tanah air dan memiliki kredo (kaidah hukum) Al-Mukhafatdlatu ‘Ala Qadimish Shalih Wal Ahdu Bil Jadidil Ashlah (mempertahankan
nilai dan tradisi lama yang dianggap baik dan relevan, dan akomodatif terhadap
nilai dan tradisi baru yang lebih baik). Bahkan seorang Ben Anderson (pakar
studi tentang Indonesia dari Amerika) mengeluhkan sedikitnya perhatian ilmiah
yang diberikan pada NU. Padahal NU yang dianggap sebagai simbol Islam
tradisionalis, menurutnya, memainkan peran signifikan dalam berbagai perubahan
sosial dan politik di Indonesia. Lebih keras lagi Ben menuduh adanya prasangka
ilmiah (scholarly prejudices) dalam
studi-studi Indonesia yang membuat NU terabaikan dan terisolasi.
Keadaan agak tertolong, setelah NU
secara yuridis menjustifikasikan satu keputusan monumental bagi reformasi
secara kritis dan analitis dalam institusi tertinggi dibawah Muktamar yaitu
Musyawarah Nasional Alim Ulama di Bandar Lampung pada tahun 1992. Dalam
keputusan tersebut disepakati bahwa sistem pengambilan keputusan hukum dalam Bahsul Masail Diniyah (pembahasan
masalah-masalah agama) bisa dilaksanakan dengan pola bermazhab secara qauli (tekstual) maupun manhaj (kontekstual). Hal ini memberikan
kemungkinan untuk mengikuti manhaj, jalan pikiran dan kaidah hukum yang telah
disusun oleh para Imam mazhab. Begitupun dalam bidang akidah, tidak mustahil
terjadi pembaharuan pemikiran sepanjang sejalan dengan manhaj Imam Abu Hasan
Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi. Pola berpikir semacam ini dapat
diketahui pada pemikiran Al-Baqillani, Al-Baghdadi, Al-Juwaini, Al-Ghazali,
Al-Syahrastani dan Al-Razi.
Reinterpretasi Aswaja NU
Secara kebahasaan, Ahlussunnah Wal Jamaah dapat
dikonsepsikan : Ahlun berarti pemeluk
aliran atau pengikut mazhab. Al-Sunnah
berarti thariqat (jalan), sedangkan Al-Jamaah berarti sekumpulan orang yang
memiliki tujuan. Secara terminologi dapat didefenisikan bahwa Aswaja adalah orang yang memiliki metode
berpikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandasan atas
dasar-dasar moderasi, menjaga kesinambungan dan toleran, dan shalat tarawih 23
rakaat. Pandangan seperti itu pas betul dengan anggapan sementara orang luar NU
terhadap perilaku warga NU sendiri.
Prospektif Aswaja NU
Diskursus Aswaja dalam NU kurun
1994-sekarang ini terbilang cukup mengagetkan kalangan ulama tua. Doktrin
Aswaja NU selama ini dinilai sebagai sesuatu yang final dan haram hukumnya
diperdebatkan eksistensinya. Secara mengejutkan, muncul pemikiran baru tentang
perlunya rekonstruksi rumusan Aswaja NU untuk mengantisipasi perkembangan
pemikiran dalam bidang keagamaan yang melaju dengan cepat sesuai dengan
tuntutan zaman. Alasannya, konstruksi fiqhiyyah
Aswaja NU mungkin masih bisa akomodatif dan survive
dalam menghadapi perubahan sosial. Akan tetapi lain halnya, bila menelusuri
doktrin Aswaja NU dalam bidang teologis, yang di dalamnya tidak luntur
sebagaimana konstruksi fiqh.
Pemikiran nyeleneh yang disebut
terakhir ini, sebenarnya akibat langsung dari pemikiran KH. Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) yang tradisionalis radikal (meminjam istilah Mitsuo Nakamura). Ia
mengkombinasikan sintesis yang canggih dari apa yang terbaik di dalam
nilai-nilai modernitas dan komitmen terhadap rasionalitas dan keulamaan maupun
kebudayaan tradisional. Pemikiran radikal gaya Gus Dur kemudian diikuti oleh
tokoh-tokoh NU diantaranya Prof. Dr. KH. Said Agil Siradj, MA, Masdar F Mas’udi
dan Fajrul Falakh.
Salah satu rekonstruksi Aswaja
adalah pandangan bahwa doktrin Aswaja harus dipahami sebagai Manhaj Al-Fikr atau sebagai metotologi berfikir, bukan Aswaja sebagai
mazhab apalagi produk Mazhab. Ini artinya, berpaham Aswaja berarti bersikap
dengan menggunakan Manhaj Tawasuth, yaitu bersikap ditengah-tengah
antara pemahaman tektual dengan rasionalisme, bersikap dengan Manhaj Tawazun, berarti berpandangan keagamaan yang berusaha
mengembangkan, sikap moderat Aswaja tercermin pada metode pengambilan hukum (istimbat) yang tidak semata-mata
menggunakan nash, namun juga
memperhatikan posisi akal. Dalam wacana berpikir selalu menjembatani antara
wahyu (nash) dan rasio (al-ra’yu). Metode seperti inilah yang
diimplementasikan oleh Imam mazhab empat serta generasi berikutnya dalam
menelurkan hukum-hukum pranata sosial.
Sikap lain yang ditunjukkan adalah tawazun atau sikap netral yang dalam
berpolitik yaitu tidak membenarkan kelompok bergaris keras (tatharruf), tetapi jika berhadapan dengan
penguasa yang lalim mereka tidak segan-segan mengambil jarak dan mengadakan
aliansi. Sedangkan dalam kehidupan sosial bermasyarakat, Aswaja mempunyai sikap
toleran (tasamuh) yang tampak dalam
pergaulan dengan sesama muslim dengan tidak saling mengkafirkan dan terhadap
umat lain saling menghargai.
Lebih menarik, bila mengamati Aswaja
dalam NU. Terminologi Aswaja masih memungkinkan memerlukan reinterpretasi
(penafsiran ulang). Hal ini karena rumusan baku Aswaja NU belum terlalu tegas.
Dalam qanun asasi (UUD) NU pun belum
ada penjelasan yang mendasar mengenai rumusan Aswaja. Di dalamnya, KH. Hasyim
Asy’ari (Rais Akbar) menyebutkan Madzahibul
Arba’ah (bukan salah satu dari empat mazhab). Penyebutan itu bertujuan agar
warga NU yang heterogen wacana pemikirannya tidak ta’asub. Ini artinya doktrin itu bukan kebenaran absolut, yang
tidak bisa menerima tawaran pemikiran baru. Landasan pikirnya, tentu karena hal
itu masih merupakan wilayah ijtihadiyah,
sehingga mungkin saja dibenarkan jika kalangan NU itu sendiri melakukan
reinterpretasi terhadap teks-teks Aswaja yang ada. Selama ini orang NU
berpendapat bahwa berhaluan Aswaja adalah mereka yang suka pengajian akbar,
mendirikan madrasah, mengelola ziarah kemakam para ulama terdahulu, seperti
Syekh Burhanuddin di Ulakan Padang Pariaman dan wali songo di pulau Jawa,
tahlilan, manakiban, shalat Subuh pakai qunut, keseimbangan dalam menjalin
hubungan antara manusia dengan tuhannya, manusia dengan sesamanya dan antara
manusia dengan lingkungannya. Hal inilah yang menunjukkan bahwa Aswaja sangat
prospektif, tidak mati karena perkembangan zaman.
Pemikir-pemikir liberal yang disebut
sebelumnya juga berimplikasi terhadap perkembangan pemikiran NU di daerah yang
tidak saja di dominasi oleh pemikiran kiai-ulama sepuh, tetapi gerak langkah
tokoh muda NU menghiasi wacana baru yang lebih progresif.
Menanggapi fenomena di atas,
sepertinya akan menjadi keniscayaan pada era mendatang dan kiranya perlu
kesiapan mental menguasai elite NU agar dinamika pemikiran mereka tidak
dipasung, dan atau dibiarkan berkelana hingga sudut langit di awang-awang,
tanpa bisa dibumikan dilingkungan jam’iyah NU yang selalu berpegang kuat pada
senjata akomodatif terhadap perkembangan baru yang lebih baik.
NU (nahdhatul ulama') dalam anggaran
dasarnya (qonun asasi) menyatakan,bahwa dalam fiqih menganut salah satu dari 4
madzhab (syafi'i,hanafi,hambali,maliki). Dalam teologi,menganut salah satu dari
2 aliran (asy'ariyyah,maturidiyyah). Dalam tasawwuf mengikuti pemikiran
tokoh-tokoh sentral sufi semacam Junaid al-baghdadi.sariy assaqothi,syaqiq
al-balkhi,ma'ruf al karkhiy,dll (yg lebih menekankan pada pendalaman dan
praktek syariat serta suluk,juga adab secara intensif).
Umpama anggota NU menetapkan diri menganut madzhab syafi'i,maka tidak ada larangan baginya mengikut salah satu pendapat madzhab lain jika menuntut itu.
(soal anggaran dasar NU yang digariskan oleh hadhratus syaikh Hasyim asy'ari, tertulis secara lengkap dan rinci dalam kitab "Hasyiyah as-showi ala khoridatil bahiyyah" lid Dardir.. Dan kami menduga kuat,beliau menjadikan kitab monumental dalam aqidah itu sebagai referensi utama saat mendirikan NU... Silahkan merujuk ke kitab tersebut,term bahasan "Man hum ahlussunnah wal jamaah?"
Sedangkan ahlussunnah wal jamaah,atau "al-firqoh an-najiyah",golongan yang selamat (sebagaimana istilah Nabi), adalah golongan yang tetap pada ajaran Nabi dan apa yg dilakukan Sahabat atas petunjuk Nabi (maa alaihi ana wa ash-habi). Dan oleh Nabi,mereka diindikasikan sebagai golongan mayoritas (assawad al-a'dzom) dalam tubuh ummat islam (berarti di sana ada assawad al-asghor,golongan2 kecil,minoritas). Yang oleh Nabi,kita diwanti2 untuk selalu mengikut golongan mayoritas ini. Nah bagaimana tanda mereka? Mereka memang tidak terikat dalam sebuah organisasi,tidak terorganisir rapi,dan tidak terdata. Tapi mereka satu dalam pemikiran dan amaliyah sehari-hari. Jika kita mau jujur dan bijak menilai,dan membaca data yang ada dari seluruh negara islam di dunia, golongan mayoritas itu saat ini,dalam fiqih berputar di madzhab empat tdi (bandingkan dg imamiyah,ja'fariyah,zaidiyah,atau dzohiriyah yg hanya diikuti sebagian). Dalam aqidah banyak yg mengikut asy'ari atau maturidi, (bandingkan dengan mujassimah,mu'tazilah,qodariyah,ibadhiyah,jabariyah,itsna asyariyah,yang hanya diikuti negara tertentu). Dan data secara valid mengatakan,bahwa golongan mayoritas ini (assawad al-a'dzom) seluruhnya mengikuti tasawwuf dg berbagai macam alirannya ! Bahkan saudi arabia sekalipun,dari luar seolah tak ada sufi,tapi di dalam? Gudang sufi dunia. Apalagi indonesia (dan negara2 islam di asia selatan,asia tenggara) afrika (trutama afrika utara,tengah,dan selatan),atau eropa (terutama turki).. Sufi adalah assawad al-a'dzom.
Nah,itu sekilas ahlussunnah wal jamaah,soal pemikiran lebih detail,filsafatnya,adalah bab lain yang menyendiri... Dan NU,adalah ahlussunnah wal jamaah,bukan ahlussunnah wal jamaah itu NU,mesti difahami dg baik hal ini..
Umpama anggota NU menetapkan diri menganut madzhab syafi'i,maka tidak ada larangan baginya mengikut salah satu pendapat madzhab lain jika menuntut itu.
(soal anggaran dasar NU yang digariskan oleh hadhratus syaikh Hasyim asy'ari, tertulis secara lengkap dan rinci dalam kitab "Hasyiyah as-showi ala khoridatil bahiyyah" lid Dardir.. Dan kami menduga kuat,beliau menjadikan kitab monumental dalam aqidah itu sebagai referensi utama saat mendirikan NU... Silahkan merujuk ke kitab tersebut,term bahasan "Man hum ahlussunnah wal jamaah?"
Sedangkan ahlussunnah wal jamaah,atau "al-firqoh an-najiyah",golongan yang selamat (sebagaimana istilah Nabi), adalah golongan yang tetap pada ajaran Nabi dan apa yg dilakukan Sahabat atas petunjuk Nabi (maa alaihi ana wa ash-habi). Dan oleh Nabi,mereka diindikasikan sebagai golongan mayoritas (assawad al-a'dzom) dalam tubuh ummat islam (berarti di sana ada assawad al-asghor,golongan2 kecil,minoritas). Yang oleh Nabi,kita diwanti2 untuk selalu mengikut golongan mayoritas ini. Nah bagaimana tanda mereka? Mereka memang tidak terikat dalam sebuah organisasi,tidak terorganisir rapi,dan tidak terdata. Tapi mereka satu dalam pemikiran dan amaliyah sehari-hari. Jika kita mau jujur dan bijak menilai,dan membaca data yang ada dari seluruh negara islam di dunia, golongan mayoritas itu saat ini,dalam fiqih berputar di madzhab empat tdi (bandingkan dg imamiyah,ja'fariyah,zaidiyah,atau dzohiriyah yg hanya diikuti sebagian). Dalam aqidah banyak yg mengikut asy'ari atau maturidi, (bandingkan dengan mujassimah,mu'tazilah,qodariyah,ibadhiyah,jabariyah,itsna asyariyah,yang hanya diikuti negara tertentu). Dan data secara valid mengatakan,bahwa golongan mayoritas ini (assawad al-a'dzom) seluruhnya mengikuti tasawwuf dg berbagai macam alirannya ! Bahkan saudi arabia sekalipun,dari luar seolah tak ada sufi,tapi di dalam? Gudang sufi dunia. Apalagi indonesia (dan negara2 islam di asia selatan,asia tenggara) afrika (trutama afrika utara,tengah,dan selatan),atau eropa (terutama turki).. Sufi adalah assawad al-a'dzom.
Nah,itu sekilas ahlussunnah wal jamaah,soal pemikiran lebih detail,filsafatnya,adalah bab lain yang menyendiri... Dan NU,adalah ahlussunnah wal jamaah,bukan ahlussunnah wal jamaah itu NU,mesti difahami dg baik hal ini..
Langganan:
Postingan (Atom)